Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TAFSIR LAGU LIR-ILIR SUNAN KALIJAGA


LIR-ILIR, TEMBANG LIR-ILIR, TAFSIR TEMBANG LIR-ILIR
source: wikimedia commons
-Tafsir tembang Lir-Ilir sunan kalijaga- Setelah sebelumnya kita telah membahas lirik atau syair lagu Lir-ilir karangan Sunan Kalijaga, kali ini kita akan menafsirkan lirk lagunya secara utuh.

Ya, benar-benar utuh sehingga kita dapat memahami makna keseluruhan dari lagu yang terkadang dipandang sebelah mata bagi orang-orang yang belum tahu bagaimana aslinya lagu ini yang bukan sekedar lagu atau tembang dolanan anak-anak belaka.

Yups, langsung saja kita masuk pada intinya. Kita akan tafsirkan setiap baris lirik lagu lir-ilir. Tak akan ada yang terlewatkan.
Lir-ilir-Lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Nah, pada lirik bait di atas mempunyai makna agar kita bangun, namun bukan berarti bangun tidur. Akan tetapi, kita diminta bangun atau bangkit dari keterpurukan, bangun dari ketidaktahuan akan Allah Tuhan Semesta Alam, bangun dari kemalasan, bangun dari keburukan hati, bangun dari segala kesalahan. 

Lebih-lebih, kita dituntun agar senantiasa memohon ampun kepada Allah dan  tak henti-hentinya berdzikir guna mempertebal keimanan kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khalik. 

Selanjutnya, pada lirik “Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar.” Pada bait lirik tersebut  mengandung makna bahwasanya apabila kita sering berdzikir, kita akan mendapatkan manfaat yang amat banyak atas izin Tuhan. 

Nah, pada frasa “Pengantin baru” banyak yang sependapat mengartikannya sebagai Raja-Raja Jawa yang pada saat itu baru memeluk agama Islam. Filosofinya yaitu, kala itu antusiasme masyarakat untuk masuk ke agama Islam cukup tinggi, akan tetapi penyerapan serta implementasinya masih tahap paling awal atau pemula. 

Hal tersebut diibaratkan penganten baru yang kita ketahui dalam pernikahannya tersebut tengah melewati jenjang kehidupan baru yang masih sangat awal. Selanjutnya adalah makna bait lagunya yang berbunyi:  
Cah angon-cah angon 
Penekno Blimbing Kuwi 
Lunyu-lunyu penekno 
Kanggo mbasuh dodotiro 
Pada frasa “Cah angon”, mungkin kita akan bertanya-tanya karena rasa penasaran yang begitu menggebu di otak kita. “Cah angon?” What? Mengapa bukan presiden saja, menteri, ataupun orang-orang besar lainnya. 

Mengapa harus cah angon? 

Menarik memang, di sini Sunan Kalijaga coba bermain dengan kata-kata yang sederhana namun mengena di hati dan pikiran kita. Seperti kita ketahui, bahwasanya “cah angon” itu sendiri memiliki arti bocah atau anak penggembala. Namun demikian, di balik ungkapan sederhana tersebut memiliki makna yang lebih mendalam lagi. 

Ya, pada potongan liriknya yang berbunyi cah angon sebenarnya mnggambarkan seseorang yang dapat membawa makmumnya atau para pengikutnya. Makna tersebut secara gamblang dalam lirik lagunya adalah seseorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya menuju jalan yang lurus yang diridhoi oleh Allah SWT.

Menelaah kembali lirik lagu pada bait di atas, yakni makna dari kata “pengGembala” yang terdapat dalam lagu lir-ilir. Sangat menarik. Penggembala di sini diartikan, sanggupkah kita menggembalakan serta menahan hati kita dari hawa nafsu yang muncul begitu menggebu. 

Yang demikian tersebut otomatis merujuk pada himbauan agar kita dapat senantiasa menahan segala hal yang dapat menggiring kita untuk melakukan perbuatan dosa. Kita harus dapat melawan hawa nafsu kita agar tidak terjerumus ke jalan gelap yang tidak diridhoi oleh Allah SWT. 

Untuk itu, kita diajarkan agar senatiasa teguh dengan rukun Islam yang pada lagu ini diibaratkan dengan potongan kata dari liriknya, yaitu “belimbing”. Belimbing adalah buah dengan lima gerigi ataupun buah yang memiliki lima sisi atau sudut yang digunakan sebagai penggambaran lima buah rukun islam. 

Oleh sebab itu, “lunyu-lunyu penekno”. Artinya adalah, sesulit apapun rintangan yang harus kita lalui, kita harus kuat dan selalu menjalankan lima rukun islam. Karena itu merupakan pondasi atau dasar dari agama Islam. 

Lebih tepatnya, pada kata “Penekno” yang dalam bahasa Indonesia berarti “panjatlah” memiliki makna ajakan dari para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa. Ajakan tersebut ialah himbauan para wali agar raja-raja tanah Jawa pada masa itu segera memeluk agama Islam. 

Bukan hanya ajakan kepada raja, melainkan juga kepada seluruh masyarakat Jawa kala itu untuk memeluk agama Islam dan menjalankan seluruh syari’at Islam. Meskipun harus berkorban untuk melewati segala rintangan yang harus dilalui, baik harta-benda maupun tahta. Juga godaan-godaan yang lain. Maka dari itu,  kita harus tetap senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT.

Berikutnya pada syair yang berbunyi “Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing pinggir.” Pada baris lirik ini memiliki makna (pakaian) taqwa kita harus kita bersihkan. Artinya bahwa segala sesuatunya yang jelek harus kita tinggalkan dan sebisa mungkin untuk kita hindari. 

Yang pasti, pesan yang terkandung yaitu kita dianjurkan untuk segera memperbaiki kehidupan serta akhlak kepribadian kita. 

Jika dikaitkan dengan baris lirik di atas sangatlah relevan. Dimana penggambarannya adalah memperbaiki diri kita itu diibaratkan merajut pakaian sampai menjadi indah. . dan lebih indah lagi. Nah, di situlah timbul alasan mengapa demikian. Maka itu lirik lagu ini diteruskan; “Dondomono, Jlumatono, Kanggo Sebo Mengko sore”

Mengapa kita harus segera memperbaiki (pakaian) diri kita? Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena sebaik-baiknya pakaian adalah pakaian yang senanTiasa bertaqwa pada Allah. Itulah sekiranya pesan dari para wali. 

Pesan tersebut sekaligus mengingatkan bahwa suatu ketika kita pasti akan mati dan akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita selama di dunia kepada Allah SWT. Baik amalan baik maupun amal buruk akan kita pertanggungjawabkan, semuanya tanpa terkecuali. 

Maka dari itu, kita dihimbau untuk sesegera mungkin memperbaiki sekaligus menyempurnakan ke (imanan)-Islaman kita agar kelak ketika hari pertanggungjawaban itu tiba, kita dapat selamat  dari hukuman dan bau neraka. 

Diibaratkan pula bahwasanya pakaian taqwa yang ada pada diri kita selaku manusia biasa pastilah sangat mungkin terkoyak dan berlubang. Dengan demikian kita tidak boleh patah arang untuk senantiasa memperbaiki dan membenahi diri agar kelak kita punya bekal yang cukup ketika kita dipanggil oleh Sang Khlaik. 

“Mumpung padhang rembulane. Mumpung jembar kalangane Yo surako surak iyo!!!”
Nah, di atas adalah deretan lirik penutup dari lagu lir-ilir. Mempunyai makna tersirat, selagi kita masih memiliki kesempatan, kita tidak boleh melewatkan sesesedikit apapun waktu yang kita miliki untuk memohon ampunan kepada Allah. 

Lebih daripada itu, kita juga harus dapat mengontrol hawa nafsu duniawi ini yang terkadang dapat menjermuskan kita. Tak lupa pula pesan bahwasanya kita harus senantiasa bertaqwa kepada Allah sebagai bekal pertanggung jawaban kita kelak di akhirat. 

Dan kahirnya kita tutup dengan semangat bersorak sorai bahagia riang gembira.” Yo surako Surak Iyo!”
Begitulah cara sederhana para wali untuk menarik masyarakat dan Raja-Raja kala itu agar mau memeluk agama Islam. 

Tak sekedar menjadi seorang muslim, tapi muslim yang benar-benar beriman dengan menjalankan segala syariat-syariat Islam dan mau melakasanakan segala yang dianjurkan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Dan yang pasti, para wali juga mengingatkan agar kita para muslim harus melaksanakan hal-hal mulia tersebut. Ketika kita masih memiliki kesempatan, gerbang kebaikan terbuka lebar memperlihatkan jalan lurus-Nya. 

Tepat di depan mata kita. Tatkala jiwa masih menempel pada raga kita, selagi kesehatan masih menjadi sahabat baik kita. Marilah kita bersama-sama untuk senatiasa memperbaiki diri kita. 

Semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "TAFSIR LAGU LIR-ILIR SUNAN KALIJAGA"